Scroll untuk baca artikel
NusantaraPeristiwa

Oei Halim Wibisono Seorang Warga Yang Uji Enam Undang-Undang Sekaligus ke MK

×

Oei Halim Wibisono Seorang Warga Yang Uji Enam Undang-Undang Sekaligus ke MK

Sebarkan artikel ini
Oei Halim Wibisono selaku Pemohon Prinsipal menjelaskan pokok permohonannya pada Sidang panel pendahuluan uji Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, Rabu (07/08) di Ruang Sidang MK. Foto Humas/Ifa.

Nusatimes.id- Seorang warga yang Bernama Oei Halim Wibisono mengajukan permohonan pengujian materi sejumlah pasal dalam enam undang-undang (UU) sekaligus sebagaimana terdaftar melalui Perkara Nomor 102/PUU-XXII/2024. Undang-Undang dimaksud, antara lain UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, dan Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

“Pemohon ini selaku Prinsipal itu mengalami suatu kejadian yang secara langsung, atas dasar itu Pemohon mengajukan materi perihal tentang enam undang-undang itu karena semuanya ada keterkaitan karena dari pengadilan tingkat pertama sampai pengadilan terakhir, Mahkamah Agung, sampai ke PK, otomatis norma yang kami uji itu norma yang kami mohonkan uji itu banyak sekali karena semua keterkaitan,” ujar Halim dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Rabu (7/8/2024).

Setidaknya ada 14 norma pasal yang dimohonkan untuk diuji. Pasal dimaksud antara lain Pasal 50 ayat (1), Pasal 53 ayat (1), Pasal 53 ayat (2), Pasal 41 ayat (3), dan Pasal 24 ayat (2) UU 48/2009; Pasal 178 ayat (3), Pasal 184 ayat (1), dan Pasal 184 ayat (2) Herzien Inlandsh Reglement; Pasal 20 ayat (1) huruf c, Pasal 20 ayat (1) huruf d, dan Pasal 20A ayat (1) huruf c UU 18/2011; Pasal 13E ayat (1) huruf c dan Pasal 13D ayat (2) huruf h UU 49/2009; serta Pasal 66 ayat (1) UU 14/1985.

Oei pernah menjadi Penggugat yang mengajukan sengketa perkara perdata dengan Polri sebagai Tergugat di Pengadilan Negeri (PN) Nganjuk. Dia mengaku sebagai pemilik sah atas rumah/tanah Hak Guna Bangunan No 15 asal konversi Eigendom Perponding No 667 (hak barat) atas nama pemegang hak Soen Thjoen Bie yang masa berlakunya berakhir pada 23 September 1990 terletak di Jl Kartini No 11 Nganjuk. Pemohon beli dari segenap ahli waris almarhum Soen Thjoen Bie pada 26 Januari 2012.

Pada 26 Januari 2012, Pemohon telah menerima secara sah peralihan rumah/tanah negara bekas Hak Guna Bangunan tersebut. Namun, Pemohon menyebut belum dapat menempatinya karena rumah berikut tanah yang saat itu berstatus Hak Guna Bangunan telah diserobot Polri pada 1967. Menurut Pemohon, alasan Polri menyerobot kemudian menempati rumah dimaksud adalah karena rumah bersangkutan ditinggalkan atau ditelantarkan oleh pemegang hak (Soen Tjhoen Bie) yang tidak diketahui keberadaannya.

Sementara, PN Nganjuk menjatuhkan putusan pada perkara yang diajukan Pemohon dengan menyatakan tanah yang digugat termasuk tanah terlantar. Menurut Pemohon, Majelis Hakim PN Nganjuk tidak menjalankan selurus-lurusnya Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009 yang mengharuskan putusan pengadilan memuat pasal dari UU Nomor 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang dijadikan dasar hukum Hakim PN Nganjuk untuk mengadili/memutus perkara. Selain itu, Pemohon menyebutkan, Majelis Hakim PN Nganjuk tidak menjalankan selurus-lurusnya Pasal 178 ayat (2) HIR karena hanya mengadili tanahnya dan tidak mengadili bangunan rumah di atasnya serta tidak menjalankan selurus-lurusnya Pasal 53 ayat (2) UU 48/2009 dan Pasal 68A ayat (2) UU 49/2009.

Kemudian, gugatan Pemohon itu sampai di Mahkamah Agung (MA). Namun, karena tidak tertulisnya secara jelas dan rinci format/bentuk putusan perdata MA sebagaimana ditentukan Pasal 184 ayat (1) HIR telah menyebabkan Pemohon tidak mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum dan kepastian hukum yang adil. Untuk itu, Pemohon meminta pasal-pasal yang diajukan untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Apa Komentar Anda?