nusatimes.id – Beragam tanggapan terkait isu peleburan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Dispora dengan Dinas Pendidikan Kebudayaan (Dikbud) Provinsi Gorontalo terus mencuat. Tidak terkecuali dari kalangan akademisi olahraga Gorontalo.
Ya, meski belum ada keputusan dan kepastian resmi terkait rencana peleburan ini apakah dipicu efisiensi anggaran atau Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permen PANRB) nomor 25/2021 tentang penyederhanaan struktur organisasi. Namun bakal sangat disayangkan Dispora yang baru berusia tiga tahun sudah harus kembali dilebur dengan Dikbud atau OPD lain.
“Sebelum dan sesudah berpisah sepertinya tidak ada perubahan, misalnya mulai dari infrastruktur dan prestasi olahraga tidak ada perbedaañ apalagi perubahan,” jawab mantan Rektor Universita Gorontalo yang juga profesor olahraga, Prof. H. Hariadi Said, Ahad (13/4/2025).
Jawaban singkat juga disampaikan Dekan FOK UNG, DR. Hartono Hadjarati, M.Pd yang mengatakan, suatu kemunduran jika Dispora kembali dilebur dengan Diknas terlebih perpisahan keduanya baru sekitar tiga tahun.
“Sebab Dispora ini sudah lama dinantikan berdiri sendiri, tapi tiba-tiba dilebur lagi ya, jadi Dinas bongkar pasang,” ujarnya.
Sementara itu, Dosen Olahraga yang juga Wakil Ketua KONI Provinsi Gorontalo, DR. Ucok. H. Rafiater, M.Pd, yang dimintai komentar tanggapannya mengatakan, peleburan Dispora dengan Dinas Pendidikan ini memiliki dampak positif tapi juga ada dampak negatifnya, tergantung bagaimana pengelolaannya dilakukan.
Misalnya, dari dampak positif dari maerger ini yang pertama, mengenai efisiensi anggaran dan sumber daya. Kalau dilihat penggabungan ini dapat mengurangi biaya operasional karena struktur organisasi yang lebih ramping dan pengurangan duplikasi fungsi. Kemudian yang kedua adalah sinkronisasi program pendidikan dan kepemudaan, jadi kalau kita lihat program pendidikan karakter dan kepemudaan ini biasanya lebih terintegrasi. Seperti misalnya pengembangan skill, kemudian kepemimpinan. Yang berikut misalnya tentang peningkatan pembinaan olahraga di sekolah, di mana dengan penggabungan ini pembinaan olahraga pelajar bisa lebih terstruktur karena berada di bawah satu atap tentunya, dibawah satu kebijakan. Dan yang keempat ini pemanfaatan fasilitas secara maksimal karena fasilitas olahraga dan kepemudaan ini biasanya digunakan untuk kegiatan pendidikan juga, seperti kita lihat dan juga bisa sebaliknya ini bisa meningkatkan pemanfaatan aset daerah tentunya.
“Nah kalau menurut saya ada dampak negatifnya juga. Jadi yang pertama, tentunya tentang beban kerja pasti lebih luas sehingga tidak begitu fokus dimana Dinas pendidikan ini sudah memiliki tugas yang sangat besar dan penambahan tanggung jawab Dispora bisa membuat fokus ini kurang dari efektiv tentunya juga agak kurang. Yang kedua pada potensi konflik, ini ya berhubungan dengan kewenangan dimana penggabungan bisa menimbulkan kebingungan tentunya terkait kewenangan antar bidang terutama dalam hal pengelolaan anggaran, program prioritas. Dampak negatif yang ketiga ini pada risiko penurunan kualitas pelayanan, nah kalau kita lihat ketika dikelola dengan baik pelayanan terhadap urusan kepemuda dan olahraga ini bisa tersisih karena lebih kecil segalanya dibandingkan dengan pendidikan yang begitu luas. Dan yang keempat tentunya pada adaptasi dan restrukturisasi. Tentunya sangat rumit dimana proses penggabungan ini membutuhkan waktu energi termasuk restrukturisasi SDM dimana sistem dan kebijakan ini bisa memicu ketidakefisien dalam jangka waktu yang pendek karena biasanya Ini juga bisa menimbulkan konflik yang bisa dikatakan rentan terjadi di lapangan karena adanya kebijakan yang tidak sesuai di dalamnya sehingga bisa dikatakan dapat memicu ketidakefisienan,” ungkap DR. Ucok. H. Rafiater, M.Pd.
Namun yang lebih dikhawatirkan sosok yang juga Ketua harian Pengprov PASI Gorontalo tersebut yakni jika melihat dari beberapa segmen tentang kebijakan Kementerian Pemuda dan Olahraga atau Kemenpora. Biasanya jelas doktor Ucok, kalau digabungkan antara Dispora dengan Dinas Pendidikan ini dapat menimbulkan dampak yang sangat tidak efektif. Terutama dalam hal ini implementasi program pusat ke tingkat daerah.
“Jadi misalnya Komenpora memiliki program-program spesifik untuk Pemuda dan Olahraga seperti penguatan organisasi kepemudaan, KNPI Pramuka dan lain-lain. Kemudian pembinaan olahraga usia dini dan daerah, kemudian program peningkatan partisipasi pemuda dalam hal kewirausahaan, kreativitas dan kepemimpinan bila Dispora digabung ke Dinas Pendidikan tentunya prioritas program ini bisa menurun karena fokus Dinas Pendidikan lebih pada aspek formal di bidang kurikulum, bidang pendidikan pembelajaran, ujian-ujian, dan para guru-guru,” jelasnya.
“Kemudian rasio ini tentunya berdampak pada ketidaksesuaian dengan kebijakan Pusat dalam sistem pemerintahan. Yang kita ketahui idealnya struktur daerah ini tentunya merefleksi struktur pusat, jadi kemenpora ini adalah Kementerian tersendiri sehingga keberadaan Dispora di daerah sangat membantu untuk sinkronisasi program vertikal. Nah penggabungan ini bisa dianggap tidak selaras secara kelembagaan, tentunya kalau menurut saya bisa menyulitkan pelaporan apalagi hubungannya dengan distribusi bantuan pelaksanaan program Pusat,” tambahnya.
Terakhir, jika kemudian marger atau penggabungan kembali Dispora dengan Diknas tetap terjadi, maka dampak yang berikutnya adalah lemahnya tentang program-program kepemudaan non sekolah, bisa terabaikan karena tidak menjadi prioritas. Yang lebih fatalnya yakni tantangan dalam DBON, dimana pelaksanaan DBON sebagai Desain Besar Olahraga Nasional seperti diketahui adalah salah satu program dari Kemenpora yang strategis dan melibatkan daerah dalam pembinaan atlet.
“Dispora berperan sangat penting dalam menghubungkan sekolah, club dan organisasi olahraga lainnya seperti KONI, KORMI, dan NPC di daerah. Jika kewenangan ini dilebur ke Dinas Pendidikan, maka bisa menjadi tumpang tindih atau bisa dikatakan stagnasi koordinasi antar lembaga secara lokal. Sehingga kesimpulannya, menurut saya kalau kita lihat dari sudut pandang Kemenpora penggabungan ini sangat beresiko akan menurunkan efektivitas pelaksanaan program-program yang strategi nasional di bidang Pemuda dan Olahraga,” terangnya. (*)