Nusatimes.id (Nasional)- Mahkamah Konstitusi (MK) tidak dapat menerima permohonan uji materiil Pasal 166 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Berdasakan informasi yang disadur dari MKRI.id menyebutkan bahwa Perkara Nomor 173/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh seorang mahasiswa bernama Binti Lailatul Masruroh.
“Mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat memimpin Sidang Pengucapan Putusan pada Kamis (2/1/2025).
Sebagai informasi, norma Pasal 166 ayat (1) dan ayat (3) UU Pilkada tersebut berkaitan dengan pendanaan Pilkada yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan tidak dapat diterimanya permohonan uji materi norma ini, maka sumber pendanaan Pilkada tetap berasal dari APBD dengan dukungan APBN sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan yang berlaku.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim dalam memutuskan perkara ini, di antaranya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara alasan permohonan (posita) dengan hal-hal yang dimohonkan pemohon (petitum).
“Mahkamah mendapatkan fakta pada bagian posita pemohon menempatkan pendanaan untuk pemilihan kepala daerah bertumpu pada APBN. Sementara itu dalam bagian petitum, Pemohon tetap menempatkan APBD sebagai salah satu sumber pendanaan untuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan pertimbangan putusan dalam persidangan yang sama.
Selain itu, dalam alasan-alasan permohonannya, pemohon tidak menguraikan bentuk hukum yang akan mengatur pendanaan dimaksud, tetapi pada bagian petitum memohonkan agar dimaknai berdasarkan ketentuan peraturan menteri dan peraturan perundang-undangan. Dari fakta-fakta hukum tersebut, Mahkamah menilai permohonan bersifat tidak jelas atau kabur (obscuur), sehingga hal-hal lain seperti kedudukan hukum dan pokok perohonan tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
“Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan pemohon, namun oleh karena permohonan tidak jelas atau kabur (obscuur) sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 PMK 2 Tahun 2021, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan lebih lanjut,” ujar Anwar Usman.